Oleh: Kiai Ahmadi Ilyas*
blokBojonegoro.com - Ikan asin atau pindang, merupakan hasil olahan ikan dengan cara perebusan dan penggaraman. Produk yang dihasilkan merupakan produk awetan ikan dengan kadar garam rendah. Hal ini dilakukan agar ikan tahan lama.
Melihat proses yang demikian, dimana ikan atau pindang tanpa dibersihkan kotorannya, maka muncul pertanyaan, bagaimana hukum memakan ikan asin dan pindang?
Dalam literatur turots atau karya tulis di kitab-kitab klasik, banyak keterangan tentang hal tersebut. Namun disini akan disampaikan kesimpulannya saja.
Para ulama Syafi'iyah berbeda pandangan.
Tentang ikan asin dan pindang yang dianggap besar, yaitu ikan dengan ukuran sebesar dua jari atau lebih, maka ada ulama' di antaranya Ibnu Hajar, yang mengatakan najis dan tidak boleh di konsumsi.
Pendapat lain ada yang mengatakan tidak apa-apa mengkonsumsi ikan asin yang besar, sebagaimana pendapat Imam Al Romli. Namun bila ikan asinnya kecil, ulama sepakat ikan asin dihukumi suci dan boleh dikonsumsi.
Sebagaimana di jelaskan di kitab Fathul Mu'in :
وَنَقَلَ فِي الْجَوَاهِرِ عَنِ الْأَصْحَابِ لَا يَجُوْزُ أَكْلُ سَمَكٍ مُلِحَ وَلَمْ يُنْزَعْ مَا فِيْ جَوْفِهِ أَيْ مِنَ الْمُسْتَقْذَرَاتِ وَظَاهِرُهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ كَبِيْرِهِ وَصَغِيْرِهِ لَكِنْ ذَكَرَ الشَّيْخَانِ جَوَازَ أَكْلِ الصَّغِيْرِ مَعَ مَا فِيْ جَوْفِهِ لِعُسْرِ تَنْقِيَّةِ مَا فِيْهِ
Artinya, “Al-Qamuli dalam kitab Al-Jawahir mengutip dari kalangan Syafi’i bahwa tidak diperbolehkan mengonsumsi ikan asin yang tidak dibersihkan kotoran-kotoran di dalamnya. Zhahir dari kutipan Al-Qamuli ini tidak membedakan antara ikan besar dan kecil. Tetapi dua guru besar madzhab Syafi’i (Al-Nawawi dan Ar-Rafi’i) menyebutkan, diperbolehkan mengonsumsi ikan kecil beserta kotoran di dalam perutnya, sebab sulitnya membersihkan kotoran tersebut.”
Tentang hukum mengkonsumsi ikan asin dan pindang yang kecil, Syekh Ahmad bin Umar As-Syathiri dalam Syarah Bughyatul Mustarsyidin juz 1, halaman 337, mengatakan :
وَقَدِ اتَّفَقَ ابْنَا حَجَرٍ وَزِيَادٍ وَ م ر وَغَيْرُهُمْ عَلَى طَهَارَةِ مَا فِيْ جَوْفِ السَّمَكِ الصَّغِيْرِ مِنَ الدَّمِ وَالرَّوْثِ وَجَوَازِ أَكْلِهِ مَعَهُ وَأَنَّهُ لَا يَنْجُسُ بِهِ الدُّهْنُ بَلْ جَرَى عَلَيْهِ م ر الْكَبِيْرَ أَيْضاً (قوله في الكبير أيضا) وَاعْتَمَدَ ابْنُ حَجَرٍ وَابْنُ زِيَادٍ عَدَمَ الْعَفْوِ عَمَّا فِيْ جَوْفِهِ مِنَ الرَّوْثِ لِعَدَمِ الْمَشَقَّةِ فِي إِخْرَاجِهِ إِذَا كَانَ كَبِيْراً.
Artinya, “Ibnu Hajar, Ibnu Ziyad dan Ar-Ramli sepakat sucinya (dalam arti ma’fu) darah dan kotoran ikan kecil dan diperbolehkan mengonsumsi ikan tersebut beserta darah dan kotorannya serta tidak dapat menajiskan minyak. Bahkan Ar-Ramli memberlakukan hukum tersebut untuk ikan besar juga. Sementara Ibnu hajar dan Ibnu Ziyad tidak menghukumi ma’fu kotoran ikan besar, sebab tidak ada masyaqqah (keberatan) dalam membersihkannya”. [mad]
*Rubrik Tanya Jawab Fiqih dan Religi diproduksi oleh LBM PCNU BOJONEGORO
* Kiai Ahmadi Ilyas adalah Dewan Perumus LBM PCNU BOJONEGORO
0 Comments
LEAVE A REPLY
Your email address will not be published